Kasus Korupsi Rp11,8 Triliun: Penegakan Hukum atau Pertunjukan Politik ?
Sidoarjo,- Kasus dugaan korupsi bernilai Rp11,8 triliun kembali menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap integritas aparat negara dan kemampuan penegakan hukum. Jumlahnya yang sangat besar, melibatkan pejabat-pejabat tinggi, dan kerugian yang ditimbulkan sangat merugikan negara. Namun, di balik riuhnya berita, ada pertanyaan penting yang harus diajukan: apakah kita benar-benar melihat proses keadilan yang sesungguhnya, atau hanya sekadar kisah politik?
Tanggapan kritis terhadap penanganan kasus ini muncul bukan tanpa sebab. Pertama, waktu terungkapnya kasus ini berbarengan dengan momen politik yang spesifik menciptakan kecurigaan bahwa ada motif lain yang berperan. Ditambah lagi, sejarah panjang politisasi hukum di negara ini menunjukkan bahwa hukum sering digunakan sebagai alat untuk menghukum atau melindungi individu berdasarkan posisi politik mereka.
Kedua, laju penyelidikan dan penerapan hukum yang lamban serta tidak transparan memunculkan keraguan dari publik.
Mengapa begitu banyak data yang disembunyikan? Mengapa tokoh-tokoh besar yang diduga terlibat masih belum diperiksa oleh pihak berwenang? Jika negara memang benar-benar serius dalam memberantas korupsi, seharusnya tidak ada toleransi terhadap siapapun yang terlibat.
Ketiga, penegakan hukum yang terlihat pilih kasih menunjukkan bahwa kita belum sungguh-sungguh dalam melawan korupsi. Banyak kasus serupa di masa lalu berakhir dengan hukuman ringan, fasilitas mewah di penjara, dan bahkan pengurangan masa tahanan.
Jika pola ini terulang kembali, masyarakat hanya akan semakin skeptis terhadap hukum yang ada. Keempat, terdapat kekhawatiran bahwa kasus ini sengaja dipublikasikan sebagai upaya mengalihkan perhatian, terutama dari isu besar yang sedang menimpa masyarakat, seperti krisis ekonomi, kesenjangan sosial, atau kebijakan publik yang memicu kontroversi. Taktik pengalihan isu melalui “pengorbanan satu kasus besar” bukanlah hal yang asing dalam konteks politik Indonesia.
Sebagai warga negara, kita tidak boleh hanya
fokus pada besarnya angka kerugian atau individu-individu yang ditetapkan
sebagai tersangka. Kita perlu menelaah struktur kekuasaan dan sistem hukum yang
memungkinkan terjadinya korupsi dalam skala besar ini dan mengulanginya. Apakah penegak hukum kita cukup berani untuk
menghukum aktor yang beroperasi di balik layar? Apakah sistem birokrasi dan
pengawasan keuangan negara telah diperbaiki dengan seksama? Tanpa jawaban atas
pertanyaan ini, kasus Rp11,8 triliun hanya akan menjadi satu bagian dari daftar
panjang kegagalan negara melawan korupsi.
Penutup: Tentunya kita berharap agar kasus ini menjadi titik awal reformasi
hukum dan birokrasi secara menyeluruh. Namun, tanpa adanya komitmen yang kuat
dan keberanian untuk menindak aktor besar di balik layar, penegakan hukum hanya
akan menjadi sekadar pertunjukan, bukan keadilan yang sesungguhnya.
Oleh:
Nasywa Karlista Sari Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah
Sidoarjo.